Minggu, 27 Maret 2011

Kata-kata yang di Curi Sibunian

aku lupa daratan sejengkal
kularikan diriku sekencang-kencangnya
tapi masih dikordinat yg sama
ada angin yang seketika menelusup ketelinga
perih, sakit menjalar keseluruh tubuh
menimbun setiap kata yang tumbuh
mencatat saat suara berkeliaran
mulutku tak mampu mengeluarkan suara
lalu kugenggam erat katakata itu dengan cepat
ia melompat dari tanganku
mulutku terkunci

Rabu, 19 Mei 2010

Tuhan, Ah Dia Lagi

Tuhan, aku melihat dia lagi didepan cermin!!!

2010

Selasa, 16 Februari 2010

23 TAHUN, “MENJUAL AYAT TUHAN” DEMI MENDAPATKAN SESUAP NASI

Laporan: Rara Handayani


Suasana riuh, heboh dan berdesak-desakan merupakan fenomena yang tak asing kita temukan di pasar. Orang-orang mondar-mandir, masuk toko keluar toko membeli kebutuhan mereka dan terkadang hanya melihat-lihat saja. Hal ini tentu sangat membuat kesal para pedagang ketika barang dagangannya berantakan, diacak-acak. Itulah potret secuil kehidupan pasar.
Di sudut lain, di dalam keramaian itu terdengar suara laki-laki setengah baya melantunkan wahyu rasul Muhammad. Suaranya merdu, sehingga membuat orang-orang yang lewat terhanyut dengan bacaan yang dibacakannya. Ia terlihat duduk menyilangkan kaki didepan toko buku Sari Anggrek Jalan Permindo Padang. Sebuah bangku kayu kecil dijadikannya sebagai alas Al Qur’an yang dibacanya.
Orang-orang yang lewat lalu-lalang didepannya terhenti mendengar suaranya membaca Al Qur’an. Mereka terkesima memandangi jari-jarinya yang terlihat meraba-raba kertas putih, tanpa huruf. Disana hanya ada simbol-simbol enam titik-titik timbul yang disebutnya huruf braile. Huruf itu pertama kali diperkenalkan oleh Louis Braile. Pada tanggal 4 Januari 1809, hari kelahirannya diperingati oleh dunia internasional sebagai "Hari Braille". Betapa tidak, berkat kelahiran anak tunanetra asal Perancis inilah maka lebih dari 40 juta orang tunanetra di seluruh dunia dapat belajar membaca dan menulis. Huruf braile pun berkembang pesat menjadi kitab-kitab, buku-buku, dan literature-literature lainnya. Al Qur’an salah satu kitab yang juga menggunakan huruf brail.
Kini, sudah lebih dari satu setengah abad sejak tulisan braille itu tercipta dengan sempurna, namun masih banyak tunanetra yang buta dengan Al Qur’an braille.
Seperti huruf braile lain, Al Qur’an braile ditulis dengan dasar enam titik domino. Posisi titik akan membedakan huruf yang satu dengan yang lain. Dengan demikian, cara membaca Al Qur’an huruf braile sama halnya dengan membaca huruf braile biasa.
Berbeda dengan biaya penulisan manual, Al Qur’an braile membutuhkan biaya yang cukup besar. Harga satu komputer untuk menulis bahasa arab braile mencapai Rp 98 juta per unit. Printer yang dipakai tak menggunakan tinta, melainkan jarum yang berfungsi membuat titik. Kertas cetak juga bukan kertas HVS, melainkan kertas karton yang perlu biaya sekitar Rp 30 ribu sekali cetak. Karena faktor biaya itulah, kegiatan memasyarakatkan Al Qur’an huruf braile yang dicetak dengan komputer masih terhambat. Al Qur’an Braille sulit didapatkan oleh sebagian tunanetra muslim yang sangat membutuhkannya.
Di Indonesia, Al Qur’an braile yang telah dicetak sejak 1978 hingga 2008 hanya sekitar 5.000 set. Selama ini hanya ada 3 percetakan Alquran braile yakni di Yogyakarta, Bandung dan Jakarta. Ini sangat menyulitkan para tunanetra muslim belajar islam karena mereka hanya bisa mendengar—tak bisa membaca ayat suci Al Qur’an.
Kapan pastinya Alquran Braile, muncul pertama kali di negeri ini tak begitu jelas. Setidaknya, ada sejarah Alquran Braille di Indonesia. Menurut Staf Seksi Program Balai Penerbitan Braile Indonesia (BPBI), Yayat Rukhiyat, Al Qur’an braille pertama kali muncul di Indonesia sekitar 1954. Al Qur’an yang ada saat itu, merupakan inventaris Departemen Sosial (Depsos) sumbangan dari Yordania.
Lebih lanjut Syam menjelaskan, Alquran braille tersebut baru berhasil dibaca tahun 1964 oleh seorang juru tik braile Depsos Yogyakarta Supardi Abdi Somad. Setelah itu, Yayasan Tunanetra Islam (Yaketunis) menuliskannya secara manual, sebelum akhirnya bekerja sama dengan Departemen Agama (Depag) untuk memproduksinya secara besar-besaran pada tahun 1973.
Departemen Sosial mencatat dari 2 juta tunanetra di Indonesia, hanya 5 persen yang telah mampu membaca Al Qur’an huruf braile. Syam termasuk tunanetra yang beruntung dibanding penderita tunanetra lain. Ia bisa membaca ayat Al Qur’an braile dengan mengunakan suaranya yang merdu. Tak hanya itu, kemampuan membaca Al-Quran braile ia jadikan sebagai lahan mencari uang untuk kehidupannya.
Nama lengkapnya Syamsuardi Sman (65), berasal dari kampung kecil Suliki daerah Payakumbuah, negeri galamai yang terkenal dengan falsafah aianyo janiah ikannyo jinak. Kepada Suara Kampus (11/02) Kamis lalu, ia mengaku telah 23 tahun memanfaatkan kemampuannya membaca ayat Al Qur’an braile yang ia sebut sebagai profesi untuk mencari nafkah. Baginya apa yang disebut profesi atau pekerjaan itu tak mesti selalu dengan title-titel seperti kebanyakan orang. Membaca ayat tuhan (Al Qur’anul karim) menelusuri rimba-rimba kehidupan untuk menghidupi dan menafkahi anak-istri adalah profesi Syam, begitu ia kerap disapa.


Gigih dan Nekat

Asrama Pusat Pendidikan Pengajaran Kegunaan Tunanetra (P3KT) Lolong Padang (sekarang di Kalumbuak PSBN Tuah Sakato) menjadi lahan tempat menyalurkan keinginan Syam belajar braile. Di usia yang masih belia (18 tahun)—Syam dengan tekun belajar braille. Atas izin Nurjanah wanita yang melahirkannya ia menuntut pergi menuntut ilmu. “ Disana saya ditempatkan di asrama tunanetra Dinas Sosial. Sekarang milik PEMDA. Memang tak lama, dari tahun 1963-1964 saya disana,” matanya berbinar mengenang saat pertama kali ia belajar braile.
Setamat P3KT Syam masih ingin belajar lebih dalam tentang huruf braille. Ia mengusulkan melanjutkan sekolah sampai ke pulau Jawa ke Departemen Sosial. Tapi, malang keinginan Syam belum mendapatkan jawaban yang pasti dari Departemen Sosial.
Ditengah luntang-lantung menunggu ketidakpastian dari Dinas Sosial Padang Syam bertemu dengan Jaudin dan Siti Nurhasanah, teman sama-sama tunanetra di asrama tunanetra Lolong dekat Transito. Menurut penuturan Syam, mereka memberi petunjuk agar mengirimi surat langsung secara pribadi (tidak melalui Departemen Sosial Sumbar). Atas usulan temannya tadi, Syam menyurati Pemalang (Jawa Tangah) Jalan Sumbing No.22. ternyata alamat yang diberi kawannya salah, yang benar Jalan Selamat No.22.
Dalam surat pribadinya itu ia meminta tembusan ke Departemen Sosial RI Jalan Insinyur Juanda No.36 Jakarta. Ia juga meminta tembusan ke Kantor Inspeksi Sosial Repoblik Indonesia (ISORI) pusat. Kemudian, tembusanya ia alamatkan ke Kantor Jawatan Sosial TK.II Kabupaten 50 Kota. Permohonan ini ia ajukan tahun 1965.
Nasib mujur memang berpihak pada Syam. Meski salah alamat ternyata surat Syam terbaca oleh P3KT Pemalang. Tahun 1966, surat Syam dibalas. Surat itu sampai di asrama sosial. Tetapi asrama sosial telat memberi kabar panggilan dari Departemen Sosial Pemalang.
“ Saya tak ada waktu memberi kabar dan memintai izin orang tua saya karena keterlambatan kabar dari pihak asrama sosial. Kabar itu baru sampai sehari sebelum keberangkatan yang dijadwalkan,” ujar Syam. Keinginannya berangkat menuntut ilmu ke Malang gagal. Pun begitu Syam tetap tabah dan berikhtiar.
“Saya yakin sang pencipta alam yang hanya bisa saya sentuh ini akan membukakan jalan. Dan saya yakin, itu yang terbaik untuk hidup saya,” katanya. Ia yakin dan tak pernah putus asa.
Tahun 1967, Menikahi perempuan yang bukan seorang perempuan awas (normal-red), Ramini. Rumah tangganya tak berahan lama, 1 bulan setelah menikah istrinya minta cerai karena Syam tak punya mata pencaharian yang jelas. Peristiwa ini adalah pukulan keras baginya. Tahun 1968 ia stress dan sakit (jauh dari kewarasan). Jiwanya terguncang.
Tahun 1969 Syam sembuh. Sehari-hari ia hanya keliling-keliling kampung jalan-jalan sama teman karena belum punya bekal. Setelah itu ia berniat kursus magsagsay (pijat tradisional). Ia bekerja sebagai tukang pijat. Namun tak berlangsung lama ia berhenti sebagai tukang pijat karena tak begitu banyak mendapatkan pelanggan.
Di tengah pengembaraanya dari kampung ke kampung ia terhenti di Sicupak Kabupaten Koto Talang daerah Solok. Disana ia bertemu dengan seorang perempuan, Armanis, kini adalah istrinya. Dari Armanis yang dinikahinya 30 februari 1980 silam, lahir 2 orang anak pelengkap kebahagiaannya. Mereka adalah Tuti Hariyanti (sekarang berumur 26 tahun, paling tua) dan sibungsu Iin Fatmawati (sekarang berumur 22 tahun).
Meski telah berumah tangga niat Syam tak pernah surut untuk belajar braile lebih dalam. Bachtiar (adik angkat Syam), anak dari gurunya di Lolong tempat dimana ia belajar braile pertama kali membantunya membuatkan surat permohonan untuk menempuh pendidikan di Pemalang. Dua puluh hari kemudian, surat panggialan untuknya datang. Pihak P3KT (sekarang Panti Sosial Bina Netra, disingkat PSBN) Pemalang telah membaca suratnya.
Akhirnya, Kamis 1 Januari 1970, Syam berangkat dari kampungnya ke Padang dengan kereta api. Sesampai di sana ia menanyai kepada guru tunanetra, Muhammad Zakir (ayah dari Bachtiar). “Saya mau pergi sekolah!!!” Syam telah tekad untuk memenuhi panggilan dari Pemalang yang menerimanya jadi murid.
Muhammad Zakir menjawab, “ kalau kamu sabar, tunggulah di rumah orang tua saya!!! Kalau tidak, carilah jalan lain.” Muzakir sepertinya tak meragui kemantapan muridnya.
Usai menemui gurunya, pukul 13.00 WIB, Syam minta izin kepada Muzakir pulang ke Payakumbuh. Untuk menghilangkan jejak. Supaya istri Syam tidak tahu kalau ia akan ke Jawa.
Esok, pukul 12.00 WIB Syam ke Teluk Bayur . Dari sana dengan kapal AMBOLUMBO ia menuju Jakarta. Muhammad Zakir, Bachtiar dan Hasan Bek Dt.Marajo (pegawai Departemen Sosial yang menurut keterangan Syam bukan pengantar resmi) mengantarkan keberangkatan Syam. Mereka hanya mendampinginya sampai pelabuhan Teluk Bayur. Sofian Rodin (pegawai Departemen Sosial yang juga bukan pengantar resmi).
Kamis, Pukul 15.30 WIB kapal yang ditumpanginya berlayar dan menepi di Pelabuhan Tanjung Priok hari Sabtu . Dari Tanjung Priok ia langsung ke Jalan Dewi Sartika No.200 Gawang III Jakarta, lokasi P3KT Tingkat Dasar Daerah Khusus ibukota langsung dibina Dinas Sosial DKI. di Jakarta yang dikepalai Sofyan Yahya. Namun, Sofian Rodin tidak ikut menurut pengakuannya pada Syam ia ada tugas lain. Sebelum berpisah dengan Syam ia berpesan, “ jangan kamu bilang saya pegawai Departemen Sosial!!! Kalau ada yang menanyai, bilang saja saya pedagang.”
Setiba di P3KT, pimpinan P3KT heran kenapa Syam hanya datang sendiri. “Kenapa bapak datang sendiri?” katanya.
“ Ya, memang beginilah nasib tunanetra Sumatera Barat sejak P3KT ditutup tahun 1965.”
“ Bapak tunggu saja disini sampai hari senin. Hari senin bapak di antar ke kantor Departemen Sosial Jakarta,” papar beliau.
Syam mengangguk menyetujui pesan pimpinan itu. Ia sudah senang impiannya tercapai. Menurut penjelasan Syam, saat itu tidak hanya di Padang, hampir seluruh tunanetra Indonesia terguncang akibat banyaknya P3KT yang ditutup karena kurang biaya.
Senin, Syam di antar ke kantor Departemen Sosial Jakarta. Di sana ia berbincang-bincang dengan salah seorang pegawai. “ Bapak kena tipu ini!!! Mestinya bapak di antar oleh pengantar resmi dan diberi uang saku,” katanya setelah mendengar cerita Syam sampai di Jakarta.
“ Gak apa lah pak,” pria kelahiran negeri galamai itu tak ambil pusing. Ia sudah sangat bersyukur bisa sekolah di Jawa. Akhirnya, departemen sosial memberi Syam uang saku untuk keperluannya.
Jakarta bukan tujuan Syam. Kemudian ia melanjutkan perjalanan ke P3KT Dista Rasta Jalan Selamat Kab.Pemalang Jawa Tengah. Ia langsung ke Stasiun Gambir jurusan Tegal yang juga melewati Pemalang.
“Kereta api ini berhenti di Tegal pak! Hanya lewat Pemalang saja,” ujar seorang kondektur ketika Syam menanyai jurusan Pemalang. Menurut kondektur itu stasiun pemalang kecil jadi kereta api itu tak berhenti disana dan langsung ke Tegal.
Ia sampai di Tegal pukul 01.00 WIB. Tak ada bus yang yang bisa ditumpangi Syam. Lalu ia menumpang dengan sebuah truk yang searah dengan Pemalang. Sampai di P3KT Pemalang, ia membangunkan ibu asrama. Beliau menyilahkan Syam untuk masuk.
Telah hampir satu bulan Syam di asrama. Ia banyak mendapatkan teman-teman baru dari berbagai wilayah di Indonesia. Dengan para tunanetra itulah Syam sehari-hari belajar braile, bercanda—hari-hari yang membahagiakan dalam hidupnya.
Suatu ketika, Syam teringat salah seorang pegawai Departemen Sosial Padang, Sofian Rodin yang telah menipunya dan tidak memberikan uang saku yang semestinya adalah haknya. Setelah berbincang dengan Buyung (teman sesama tunanetra yang berasal dari Sumbar) pelihal penipuan itu. Ia berniat melaporkan kepada pimpinan Departemen Sosial Padang yang saat itu di kepalai Muhammad Zain St. Sunaro, pria asal Batu Sangkar.
Mengetahui penipuan yang dilakukan stafnya, Muhammad Zain langsung memberi sanksi kepada Sofian Rodin. Atas perbuatannya Sofian Rodin dipindahkan ke Jakarta.
Genap satu bulan Syam di asrama, ia di pindahkan di Cepu. Tapi, Syam menolak dan minta dipindahkan di Solo (Jawa Tengah). Buyung, salah seorang kawan Syam (pria asal Pasaman) juga turut dipindahkan bersamanya.
Perjalanan Syam seorang tunanetra yang berkelana dari kampung ke kampung, kota ke kota. Tapi, semua itu dilakukannya dengan kepekaan perasaan dan indra pendengarnya untuk merambah belantara kehidupan, menuntut ilmu.


Akidah Kuat

Di solo, Syam belajar membaca cepat huruf braile selama tujuh bulan. Disana ia bertemu Siswadi (seorang pegawai katolik yang dulu adalah seorang muslim). “ Maukah kamu tenang dengan kehidupan mu!!! Pastor Katolik bisa membiayaimu dengan kamu masuk katolik,” kata Siswadi.
“ Saya tak mau pak! Orang tua saya muslim. Saya sudah tenang dengan kehidupan seperti ini,” ia menolak ajakan Siswadi untuk masuk katolik.
Kemudian Siswadi menangis, berkisah kalau dulu ia seorang muslim. Ia mengaku masuk katolik sebagai pelarian karena ia termasuk beberapa pegawai Departemen Sosial berbendera PKI.Waktu itu PKI terguncang dan ia memutuskan untuk pindah agama untuk pengamanan bagi dirinya.

Belajar membaca Al-Quran Braile, Hapal 30 Juz
Tujuh bulan Syam di Solo, ia kemudian dipindahkan lagi ke Pemalang (tempat belajar Syam sebelum di Solo). Di sana ia bertemu dengan Imam Syafi’i dan K.H Dahlan Karim (almarhum). Mereka menawarkan Syam untuk menghapal Al Qur’an. Bagi Syam itu adalah suatu yang mustahil karena ia merasa sudah terlalu tua (27 tahun) untuk menghapal Al-Quran, “rasa-rasanya sulit pak!”
“Tak ada yang sulit jika kita mau belajar,” kata Imam Syafi’i.
“ Kamu bisa belajar dengan Al-Quran braile, tambah K.H Dahlan Karim.
Kemudian ia mempelajari dan menghapal Al-Quran braile dengan gigih. Berkat ketekunannya ia mampu menghapal 30 jus ayat Suci Al Qur’an. Ia termasuk tunanetra yang beruntung dibanding penderita tunanetra lainnya. Suatu kendala yang dihadapi adalah jumlah Al qur’an Braile yang belum sebanding dengan populasi penyandang tunanetra, juga harga satu set Al qur’an Braile yang masih cukup mahal bagi mereka. Al qur’an biasa beratnya tidak sampai 1 kg dan Al Qur’an Braile 22 kg, ketebalan Al qur’an biasa 5 cm dan Al Qur’an Braile 100 cm, harga Al qur’an biasa Rp. 50 ribu, sedangkan Al Qur’an Braile Rp. 1,65 sampai 2 juta.
Al Qur’anul karim adalah wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia, sebagaimana kehadiran Nabi sendiri sebagai Rahmatan lil ‘Alamin, Rahmat bagi seluruh alam. Ajaran Al Qur’an hendaknya bisa sampai kepada siapapun tanpa terkecuali saudara-saudara muslim tunanetra sekalipun.


Kreatif

“Ketunanetraan” suatu amanah yang harus diterima agar bisa tetap menghamba kepada Rab semesta alam. Bagi para penyandang tunanetra untuk dapat melaksanakan dibutuhkan satu ilmu yang haq, yaitu Al Qur’an. Tidak seperti Al Qur’an pada umumnya ini merupakan suatu perangkat khusus yaitu mushaf Al qur’an dalam format Hijaiyyah Braile.
Syamsuardi Sman memanfaatkan kemampuannya membaca Al Qur’an braile untuk mencari nafkah. Ia duduk menyilakan kaki dipinggir jalan, membaca Al Qur’an braile dengan suara yang indah—memikat hati setiap orang yang berlalu-lalang. Karena keindahan suaranya mereka memberinya uang dalam ember yang disediakannya didekatnya.
Pekerjaan ini telah 23 tahun menjadi sumber kehidupan ia dan keluarganya. Menurutnya dari hasil pekerjaan itu ia mampu menghidupi Armanis (tunanetra) dan kedua orang anaknya yang kini telah beranjak dewasa. Ia selalu memegang prinsip hidupnya, “ apa yang ditakdirkan Allah itu adalah yang terbaik. Tak perlu putus asa karena jika kita bersungguh-sungguh Alah akan menunjukkan jalan.”

Kamis, 21 Januari 2010

Ilusi

bayangan yang tiba-tiba datang
merayap hinggap
menyerbu bagai tentara perang
membantai dengan pedang yang ia bawa
" lihat!! matiiiiii...ha ha ha," ia terbahak-bahak
kemudian ia hilang seketika
lenyap

Minggu, 02 Agustus 2009

puisi

JEJAK

aku tak memiliki cahaya seperti kunang-kunang
aku hidup dalam lingkaran kosmik yang tajam
aku pernah menghirup udara itu
seketika ragaku melepuh
dalam samar rongga-rongga labirin tanah
lepas...
meruyak...
luruh...
aku tak bisa berkata-kata lagi
dan kamu tak perlu bilang apa-apa juga
karena kita sama-sama tersesat di jagat yang sama...

Kamis, 02 Juli 2009

Demokrasi Berbasis Kampus, Adakah?

Oleh: Rara Handayani

Dengung reformasi yang dihantarkan mahasiswa ’98 kini tak lagi terdengar. Hari –hari yang lapar semenjak reformasi bergulir membuat kita hanyut dalam drama demokrasi yang membawa babak-babak menyeramkan dalam pentas bangsa yang kita anggap merdeka. Semangat politis ‘dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat’ menjadi tema perjalanan konflik–konflik yang bermunculan demi menyangga tiang yang bernama ‘Negara Indonesia’.

Lalu…muncul pertanyaan…Apakah demokrasi itu? Mahasiswa-kampus-demokrasi, adakah? Dimana letak demokrasi? Dipundak rakyat atau siapa? Beribu teror pertanyaan akan menyeruak dalam benak kita ketika mengingat memori kolektif wajah demokrasi Indonesia, yang notabene milik rakyat. Kemudian, fikiran kita tertuju pada kampus. Kampus melahirkan insan intelektualitas yang juga menjunjung semangat demokrasi. Maka, kita akan membayangkan pergerakan, dan geliat mahasiswa yang akan menjadi generasi penerus bangsa.

Kampus menjadi media pendewasaan bagi mahasiswa. Berorganisasi, mendapat pembelajaran, dan berkreatifitas. Apa jadinya kalau tidak ada trasparansi sesama aparatur kampus. Tentunya akan merugikan banyak pihak, khususnya begitu terasa oleh mahasiswa. Dimana persoalan kedisiplinan, kesopanan, hanya ditujukan kepada mahasiswa. Sementara pernahkan memberikan teladan dan contoh yang baik kepada mahasiswa. Bagaimana mungkin memberikan contoh yang baik, sementara masih banyak dosen, karyawan, pemimpin yang tidak disiplin, bersikap, dan bertindak tidak mencerminkan nilai-nilai islami. Seorang teman saya pernah berujar, “ contoh yang baik adalah dakwah yang baik”. Saya sependapat dengan teman saya karena dakwah itu tidak hanya menceramahi, menggurui, tapi memberikan pembelajaran.

Penyesalan mahasiswa terhadap perubahan konstitusi lembaga mahasiswa secara keseluruhan tak bisa dibendung. Kekecewaan ini mencuat ketika adanya campur tangan Depag RI terhadap konstitusi Lembaga mahasiswa IAIN Imam Bonjol Padang. Mestinya, dalam merubah konstitusi lembaga, mahasiswa juga dilibatkan dalam melakukan perubahan konstitusi tersebut. Nyatanya, pihak rektorat beserta anggota senat membahasnya sendiri. Sedangkan, yang menjalaninya adalah mahasiswa. Hal ini sangat tidak relevan dan tumpang tindih.

Perubahan lembaga mahasiswa yang sesuai dengan SK Rektor IAIN Imam Bonjol Padang tentang Pedoman Organisasi Kemahasiswaan salah satunya perubahan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEMI) menjadi Dewan Mahasiswa (DEMA).

Beberapa bulan DEMA sudah hadir ditengah-tengah mahasiswa. Namun suaranya belum terdengar. Kehadirannya pun masih begitu asing oleh sekalangan mahasiswa. Entah tak mau peduli dengan kampus atau sudah muak dengan birokrasi – birokrasi kampus yang kotor penuh hiruk – pikuk dan legitimasi kekuasaan. Saya pernah mendengar ada yang bilang kampus islami ini aman, tenang, damai karena tidak ada lagi demo mahasiswa. Sekilas memang terlihat tenang dan aman. Tapi sebenarnya ada semacam ‘perang dingin’ yang memperalat mahasiswa. Mahasiswa dijadikan boneka sebagai alat politik demi kepentingan kekuasaan. Bahkan sebahagian mahasiswa tidak sadar kalau suatu pergerakan cepat akan menggulirkan haknya dan ia akan dibodohi. Mahasiswa belum aman.

Kampus masih menjadi saksi bisu ketika hak –hak mahasiswa digadaikan. Menyedihkan sungguh nasib mahasiswa. Lalu sampai kapan mahaiswa hanya diam? Mana semangat reformasi yang dulu didengungkan menuju perubahan, “demokrasi milik rakyat, bukan penguasa!”

Selasa, 23 September 2008

Celoteh


Pertengkaran Anak Kandung Budaya

Oleh : Rara Handayani

Kebudayaan merupakan manifestasi yang lahir dari budi serta aktualisasi dari kebebasan manusia menjadikan misi tuhan sebagai budaya. Demi pembentukan budaya kita membutuhkan berbagai mediator misal sebentuk ucapan, tulisan, gerak tubuh, dan pengungkapan lainnya. Pangungkapan bahasa sesuai dengan jalur kehidupan sosial bisa melahirkan budaya. Jika pengungkapan budaya tidak sesuai dengan tatanan kehidupan di daerah tersebut sudah tentu terjadi bentrok budaya dengan budaya Ibu melahirkan sebelumya.

Bentrokan manusia sebagai anak budaya dengan budaya Ibu yang membimbing adalah hal yang tak langka lagi terjadi. Seperti yang pernah terjadi pada mahasiswa di IAIN Sunan Kalijaga. Mereka melihat kenyataan lingkungan di IAIN yang tidak sesuai dengan bahasa budaya IAIN yang diajarkan. Kemudian mereka mengatakan “ Anjinghuakbar” dan mengatakan “Selamat Datang Di Kampus Anti-Tuhan. Ungkapan mereka itu lahir sebentuk kekesalan dan frustasi terhadap kampusnya. Dan ungkapan itu lahir dikarena budaya yang ada. Sehingga mereka telah menjadi anak dari budaya itu sendiri. Lalu siapakah dalam hal ini yang pantas di salahkan ? Apakah mereka-mereka yang melahirkan budaya buruk IAIN atau anak yang memplesetkan “Anjinghuakbar”…Atau budaya yang menjadi ibu dan guru (Alam Takambang Jadi Guru). Dan tentu kita menyesalkan kenapa hal itu mesti terjadi ?

Lalu di mana kehadiran tuhan yang menjelma sebagai sabda yang mengatur hidup kita ? Meminjam ungkapan Komaruddin Hidayat, bahasa bukan sebagai media informasi melainkan sebuah realitas ontologis y ang bereksistensi dan tumbuh dalam panggung sejarah. Penilaian Komaruddin yang bermaksud mengungkap bahasa sebagai penyebab timbulnya budaya adalah benar. Tapi, bukankah Allah menyuruh kita untuk menggunakan akal untuk berfikir kenapa kita harus masuk kedalam realitas yang tidak kita sukai ? Dan di sinilah letak kelemahan manusia. Di sinilah kita sebagai manusia yang di beri akal diuji…!

Seperti yang diungkap Ahmad DZ dalam Puisinya:

Kita adalah

‘ion’

Energi yang di beri

Akal

Karunia

Maka,

Beryukurlah

Di sana Ahmad DZ mencoba menyampaikan kalau akal yang merupakan energi yang di berikan Allah adalah karunia yang disyukuri. Dan jika kita benar-benar mensyukuri semua itu tentu kita akan memahami makna kemunculan Avatara atau nabi-nabi suci utusan tuhan yang bertugas menyampaikan firmannya. Dan tidak menentang hukum keseimbangan kosmik seperti yang dikatakan Ian Steward dalam bukunya Does God Play Dice ?The Matematics of Chaos (1993). Di sana Ian memandang bahwa, mengingkari tuhan sama halnya dengan melawan hukum keseimbangan kosmik, baik dalam skala besar maupun jagat kecil. Misalnya peristiwa Global Warming yang terjadi sekarang yang terjadi karena ulah manusia sendiri yang melawan jagat semesta sehingga ozon menjadi bolong dan sebagian es di kutub mulai mencari perlahan…perlahan…dan perlahan. Sehingga bukan tidak mungkin suatu saat nanti kita yang sok di daratan akan tenggelam dibuatnya.

Pandapat Steward ini yang mencoba melihat dari sisi ilmiah jagat semesta adalah untuk mengajak kita berfikir tentang bahaya melanggar keseimbangan kosmik. Jika keseimbangan kosmik terancam sudah tentu semua makhluk di muka bumi akan celaka. Bukankah Allah menyuruh kita untuk menjadi khalifah yang menjaga bumi untuk yang fana ini. Bagaimana mungkin kita bisa menjaga bumi sementara antara kita saling berbenturan Budaya dan saling mengutamakan ego. Sampai kapan kita bersipekak dalam hal ini. Kita adalah sama-sama makhluk tuhan yang di berikan akal. Kenapa kita menjadikan perbedaan itu sebagai permusuhan ? Sampai kapan kita mau menjadi anak haram dari budaya karena kita lahir membuat kekacauan. Budaya mengutuk kita…! Kenapa kita harus saling bertengkar [ FBI (Fron Pembela Islam) vs AAK-BB ( Aktivis Aliansi kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan)]. Apa tidak ada cara mempertemukan pendapat yang lebih baik dari anarkitis. Lalu apa artinya “Bineka Tunggal Ika itu ?” Haruskah kita tunggu kemurkaan Allah yang maha benar, baru kita sadar.

Rasul SAW tidak pernah menyuruh kita saling bantai…saling bertengkar…! Dan tidak ada orang yang menginginkan semua itu, kecuali orang-orang yang egois…picik…dan paling benar. Dan sampai kapan kita membiarkan penyakit “Sklerosis sok” paling benar di otak kita. Sampai kapan kita bisa bercanda dengan budaya Ibu kandung yang membesarkan kita sebagai muslim dengan tenang.